WAKALAH
A.
Pengertian Wakalah
Wakalah secara
etimologi yang berarti al-hifdh pemeliharaan, al-Tafwidh
penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Sedangkan secara terminologi wakalah
adalah pemberi kewenangan/ kuasa kepada pihak lain tentang apa yang harus
dilakukannya dan ia (penerima kuasa) secara syar’i menjadi pengganti pemberi
kuasa selama batas waktu yang ditentukan.[1]
Para ulama
memberikan definisi wakalah yang beragam, diantaranya yaitu: Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa wakalah adalah, seseorang menempati diri
orang lain dalam tasharruf (pengelolaan). Sedangkan Ulama Malikiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa wakalah adalah seseorang menyerahkan
sesuatu kepada orang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya.[2]
Hal kaitannya
dengan wakalah menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dalam Buku
II. Bab I, pasal 20 ayat 19 bahwasannya wakalah adalah pemberian kuasa
kepada pihak lain untuk mengerjakan sesuatu. Menurut KUHPer mengenai wakalah
terdapat dalam Buku III, Bab VIII pasal 1792 dipasal tersebut diterangkan bahwa
pemberi kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada
orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang
memberikan kuasa.
Dalam wakalah
sebenarnya pemilik urusan (muwakil) itu dapat secara sah untuk
mengerjakan pekerjaannya secara sendiri. Namun karena satu dan lain hal urusan
itu ia serahkan kepada orang lain yang dipandang mampu untuk menggantikannya.
Oleh karena itu, jika seorang (muwakil) itu adalah orang yang tidak ahli
untuk mengerjakan urusannya itu seperti orang gila, atau anak kecil maka tidak
sah untuk mewakilkan kepada orang lain. Contoh wakalah seperti seorang terdakwa
mewakilkan urusan kepada pengacaranya.[3]
B.
Dasar Hukum Wakalah
Islam mensyariatkan wakalah karena manusia membutuhkannya.
Manusia tidak mampu untuk mengerjakan segala urusannya secara pribadi dan
membutuhkan orang lain untuk menggantikan yang bertindak sebagai wakilnya. Dan Ijma
para ulama telah sepakat telah membolehkan wakalah, karena wakalah dipandang
sebagai bentuk tolong-menolong atas dasar kebaika dan takwa yang diperintahkan
oleh Allah SWT, dan Rasul-Nya. Firman Allah QS. Al-Maidah ayat 2 :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَاب.
“Dan
tolong-menolong lah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa dan janganlah
kamu tolong-menolong dalam mengerjakan dosa dan permusuhan dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya siksa Allah sangat pedih.
Dalam Hadis dari
Sulaiman bin Yasar, bahwa wakalah bukan hanya diperintahkan diperintahkan oleh
Nabi tetapi Nabi sendiri pernah melakukannya. Bahwa Nabi pernah mewakilkan
kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah.(HR.
Malik) dan Rasulullah juga pernah mewakilkan dalam membayar utang, mewakili
dalam mengurus untanya.(HR. Bukhari dan Abu Hurairah) [4]. Adanya wakalah juga terdapa dalam KHES Pasal
20 angka 19 dan KUHPerdata pasal 1792.
Rukun wakalah
dalam KHES pasal 452 ialah:
1.
Wakil (orang yang
mewakili)
2.
Muwakkil
(orang yang mewakilkan)
3.
Muakkal fih
(sesuatu yang diwakilkan)
4.
Shighat (lafadz ijab
dan qabul)
Adapun syarat
yang menjadi wakalah sebagai berikut:
1.
Wakil (orang yang
mewakilkan) dalam ketentuan pasal 457 KHES bahwa orang yang menjadi penerima
kuasa harus cakap bertindak hukum, maksudnya disini seseorang yang belum cakap
melakukan perbuatan hukum tidak berhak mengangkat penerima kuasa seperti
seorang anak yang masih dalam pengampuan tetapi apabila anak yang masih dalam
pengampuan itu boleh diangkat sebagai penerima kuasa asal dia menghasilkan
perbuatan yang menguntungkan bagi pemberi kuasa, dan tidak merugikan tetapi
dengan adanya seizin walinya.
Dalam KUHPer pasal 1798 dijelaskan seorang perempuan dan anak yang
belum dewasa itu dapat ditunjuk menjadi kuasa tetapi pemberi kuasa itu tidak
berwenang untuk mengajukan tuntutan hukum kepada anak yang belum dewasa, dan
seorang perempuan bersuami pun jika tanpa adanya bantuan dari suami, ia tidak
beerwenang mengadakan tuntutan hukum.
2.
Muwakkil
(orang yang mewakilkan) dalam ketentuan pasal 458 bahwa seseorang yang menerima
kuasa harus sehat akal pikiran maksudnya tidak gila, orang yang berakal sehat
dan tidak idiot serta ia cakap perbuatan hukum meski tidak perlu dewasa tapi
dengan adanya izin dari walinya dan tidak berhak dan berkewajiban dalam
transaksi karenanya itu dimiliki oleh pemberi kuasa.
3.
Muakkal fih
(sesuatu yang diwakilkan) dalam ketentuan pasal 459 sesuatu yang diwakilkan itu
bisa berupa seseorang dan/ atau badan usaha berhak menunjuk pihak lain sebagai
penerima kuasanya untuk melaksanakan suatu tindakan yang dapat filakukannya
sendiri, memenuhi kewajiban, dan/ atau yang mendapatkan suatu hak dalam hal
transaksi yang merupakan menjadi hak dan tanggung jawabnya.
4.
Shighat (lafadz ijab
dan qabul) dalam Fatwa No. 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang wakalah, bahwa pernyataan
ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak
mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dan wakalah dengan imbalan
bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.[6] Jadi
akad pemberian kuasa bisa terjadi apabila adanya ijab dan qabul, sedangkan akad
tersebut dikatakan batal itu jika si penerima kuasa menolak untuk menjadi
penerima kuasa. (pasal 452 ayat 2 dan 4).
Adapun
bentuk-bentuknya dalam KHES pasal 456 dijelaskan bahwa transaksi pemberian
kuasa dapat dilakukan dengan mutlak dan/ atau terbatas, ialah:
1.
Wakalah Muqayyadah
(khusus), yaitu pendelegasian terhadap pekerjaan tertentu. Dalam hal ini
seorang wakil tidak boleh keluar dari wakalah yang ditentukan. Maka melakukan
perbuatan hukumnya secara terbatas (pasal 468 KHES)
2.
Wakalah Mutlaqah,
yaitu pendelegasian secara mutlak, misalnya sebagai wakil dalam pekerjaan. Maka
seorang wakil dapat melaksanakan wakalah secara luas. Maka melakukan perbuatan
hukumnya secara mutlak (pasal 467 KHES)
Sedangkan KUHPer pasal 1795 dan 1796 Pemberian
kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan
tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan
pemberi kuasa. Pemberian
kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi tindakan- tindakan yang
menyangkut pengurusan.
Untuk memindahtangankan
barang atau meletakkan hipotek di atasnya, untuk membuat suatu perdamaian,
ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang
pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas.
E. Hak dan
Kewajiban dalam Wakalah
1. KHES Buku II Pasal 457-500
Hak
wakil
Jika penerima
kuasa menyalahi akad, maka pemberi kuasa berhak menolak atau menerima perbuatan
tersebut.
Kewajiban
wakil
Pemberi
kuasa berkewajiban menyatakan jenis barang yang harus dibeli.
Hak muwakil
Penerima
kuasa berhak menolak untuk menjadi penerima kuasa.
Kewajiban muwakil
Wajib
bertanggung jawab atas pembiayaan yang macet yang terjadi karena kelalaiannya.
2. KUHPerdata Bab
XVI pasal 1792
Hak dan Kewajiban
a) Kewajiban
penerima kuasa:
-
Wajib melaksanakan kuasanya dan bertanggungjawab atas
segala biaya dan kerugian yang timbul.
-
Bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan yang
dilakukannya dalam menjalankan kuasanya.
-
Memberi laporan kepada pemberi kuasa tentang apa yang
telah dilakukannya.
-
Bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjuknya
sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya.
b) Hak penerima
kuasa:
-
Penerima kuasa berhak menahan kepunyaan pemberi kuasa
yang berada di tangannya hingga kepadanya dibayar lunas segala sesuatu yang
dapat dituntutnya.
Hak dan
Kewajiban
a) Kewajiban
pemberi kuasa:
-
Wajib mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan oleh
penerima kuasa untuk melaksanakan kuasanya.
-
Memberi ganti rugi atas kerugian-kerugian yang dialami
penerima kuasa sewaktu menjalankan tugasnya.
-
Memberikan upah kepada penerima kuasa atas jasanya.
a) Hak pemberi
kuasa:
-
Menerima laporan mengenai kegiatan-kegiatan penerima
kuasa.
-
Menggugat penerima kuasa yang telah melakukan
penyelewengan dan dapat pula mengajukan tuntutannya.
F.
Akibat Hukumnya
Pemberian kuasa ialah suatu
persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya
untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.
Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan suatu surat
di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan.
Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan
disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa. Pemberian kuasa
terjadi dengan cuma-cuma, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya.
Jika dalam hal yang terakhir
upahnya tidak ditentukan dengan tegas, maka penerima kuasa tidak boleh meminta
upah yang lebih daripada yang ditentukan dalam Pasal 411 untuk wali. Pemberian
kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan
tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi
kuasa. Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi tindakan-
tindakan yang menyangkut pengurusan
Untuk memindahtangankan barang
atau meletakkan hipotek di atasnya, untuk membuat suatu perdamaian, ataupun
melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik,
diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas. Penerima kuasa
tidak boleh melakukan apa pun yang melampaui kuasanya, kekuasaan yang diberikan
untuk menyelesaikan suatu perkara secara damai, tidak mengandung hak untuk
menggantungkan penyelesaian perkara pada keputusan wasit.
Orang-orang perempuan dan anak
yang belum dewasa dapat ditunjuk kuasa tetapi pemberi kuasa tidaklah berwenang
untuk mengajukan suatu tuntutan hukum terhadap anak yang belum dewasa, selain
menurut ketentuan-ketentuan umum mengenai perikatan-perikatan yang dibuat oleh
anak yang belum dewasa, dan terhadap orang-orang perempuan bersuami yang
menerima kuasa tanpa bantuan suami pun ia tak berwenang untuk mengadakan
tuntutan hukum selain menurut ketentuan-ketentuan Bab 5 dan 7 Buku Kesatu dari
Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini.
Pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang yang dengannya penerima
kuasa telah melakukan perbuatan hukum dalam kedudukannya dan pula dapat
mengajukan tuntutan kepadanya untuk memenuhi persetujuan yang telah dibuat.[8]
G.
Tujuan Adanya Wakalah
Pada hakikatnya wakalah merupakan pemberian dan pemeliharaan
amanat. Oleh karena itu, baik muwakkil (orang yang mewakilkan) dan wakil
(orang yang mewakili) yang telah bekerja sama/ kontrak, wajib bagi keduanya
untuk menjalankan hak dan kewajibannya, saling percaya, dan menghilangkan sifat
curiga dan beburuk sangka. Dan sisi lainnya wakalah terdapat pembagian
tugas, karena tidak semua orang memiliki kesempatan untuk menjalankan
pekerjaannya dengan dirinya sendiri. Dengan mewakilkan kepada orang lain, maka
muncullah sikap saling tolong menolong dan memberikan pekerjaan bagi orang yang
sedang menganggur. Dengan demikian, si muwakkil akan terbantu dalam
pekerjaanya, dan si wakil tidak kehilangan pekerjaanya.[9]
H.
Berakhirnya Wakalah [10]
Berhentinya akad wakalah ini bisa terjadi karena beberapa hal
diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Salah satu pihak meninggal dunia.
2.
Telah berakhirnya atau telah sempurnanya aktivitas atau urusan yang
diwakilkan.
3.
Jika muwakkil memberhentikan wakilnya, hal ini terjadi dalam
kondisi apapun sekalipun tanpa adanya kesalahan dari wakil.
4.
Wakil memberhentikan dirinya sendiri.
5.
Perkara yang diwakilkan telah keluar dari kepemilikan atau wewenang
muwakkil.
KHES pasal 523 sedangkan
KUHPer pasal 1813-1819.
Bab III
Penutup
A.
Kesimpulan
Wakalah adalah
suatu transaksi dimana seorang menunjuk orang lain untuk menggantikan dalam
pekerjaanya/ perkara ketika masih hidup. Ijma para ulama membolehkan wakalah
karena wakalah dipandang sebagai bentuk tolong menolong atas dasar
kebaikan dan takwa yang diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Wakalah
dianggap sah jika memenuhi rukun dan syaratnya. Adapun rukun wakalah dalam
KHES pasal 452 ialah:
1.
Wakil (orang yang
mewakili)
2.
Muwakkil (orang
yang mewakilkan)
3.
Muakkal fih (sesuatu
yang diwakilkan)
4.
Shighat (lafadz ijab
dan qabul)
Suatu pekerjaan
boleh diwakilkan apabila dapat diakadkan oleh dirinya sendiri, artinya hukum
pekerjaan itu dapat gugur jika digantikan. Adapun sesuatu yang tidak dapat
diwakilkan yaitu yang tidak ada campur tangan dari perwakilan. Selain itu terdapat hak dan kewajiban yang
harus diperoleh dan dijalankan dalam pelaksanaan wakalah ini, supaya
tercapainya apa yang menjadi maksud dan tujuan diadakan suatu wakalah tersebut.
B. Saran
Demikianlah makalah dari kami, dan yang tertuang dalam makalah ini,
menurut kami bukanlah hal yang sempurna kebenarannya, akan tetapi ini adalah
bagian dari proses pembelajaran menuju kebenaran. Oleh karena itu kami masih
sangat mengharapkan saran dan kritik dari teman-teman yang berpartisipasi dan
berperan aktif dalam forum diskusi ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua.
Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Lathif, M.Ag., AH. Azharuddin, Fiqh Muamalat, Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2005.
Dr. Hj.
Isnawati Rais, MA dan Dr. Hj. Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya Pada Lembaga
Keuangan Syariah, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011.
Prof. Dr. H. Abdul
Rahman Ghazaly, M.A., Drs. H. Ghufron Ihsan, M.A. dan Drs. Sapiudin Shidiq,
M.A., Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010.
Ali., H. Zainuddin, Hukum Perbankan Syariah, Jakarta: Sinar
Grafika, 2008.
Gemala Dewi, SH., LL.M., Wirdyaningsih, SH., MH. dan Yeni Salma
Bariliati, SH., MH., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2005.
[1] Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2005), hal 171
[2] Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya Pada
Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011),
hal 179
[3] Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat,
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), hal 187
[4] Ibid., Hal 188
[5] Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya Pada
Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011),
hal 182
[6] Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), hal 356
[7] Gemala Dewi, Wirdyaningsih dan Yeni Salma Bariliati, Hukum
Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hal 135
[9] Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq, Fiqh
Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), hal 191
[10] Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya Pada
Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011),
hal 184
Hatur Nuhun Pisan. Izin Copas.
BalasHapus